Kamis, 08 Maret 2018

Takdir tak bisa berkata_cerpen

Halloo~~ maaf sebelumnya😢 postingan saya yang kemarin saya hapus~~
Untuk diperbaiki ulang karena setelah dibaca ya tuhaaann.. Sangat buruk, so sekarang sudah ada perbaikan dan saran dari teman-teman😘 terima kasiihh🙏

Aku adalah anak pertama dari kedua orang tuaku, namaku Caya. Aku masih menginjak kelas 5 sekolah dasar. Adikku, Adi masih berumur 5 tahun yang masih belum bisa membaca. Kami hanya dua bersaudara di rumah yang sangat sederhana. ibu dan ayahku? Jangan tanyakan itu lagi. Mereka hanya memiliki waktu untuk berdebat dan saling menyakiti. Ya.. aku dan adikku lahir di keluarga yang berantakan. Ayah dan ibu yang selalu bertengkar, nenekku yang sudah tua itupun beliau tinggal dingan saudara ayahku, tetangga yang tak pernah peduli, dan hubungan yang kurang baik dengan keluarga dari saudara ayahku. Mungkin aku yang menganggapnya berlebihan, tapi aku tidak salah. Bagaimana tidak, umurku yang masih 11 tahun belum cukup tahu kebenaran yang ada di lingkunganku, belum tahu alasan mereka membenciku. Yang aku tahu hanyalah bagaimana perasaanku dan adikku yang rasanya seperti di buang.
Rumahku tidak pernah ada yang namanya kedamaian ketika ayahku datang  dengan sebotol minuman yang menurutku itu adalah racun, ya.. racun yang akan membunuhnya. Jangankan bermain denganku, untuk menemani tidurku pun ia tak mau. Tapi dia tetaplah ayahku, karena dia masih menyayangi adikku saat dia sakit. Kadang aku merasa bahwa aku hanya memiliki seorang ibu, aku takut aku akan melupakan ayahku karena semua rasa benci menyelimutiku. Sedangkan ibuku, beliau berupaya keras untuk mencari uang dan melindungiku. Ibu selalu bisa tersenyum untukku, walau mungkin ibu masih menangis dalam hatinya. Aku tau menjadi ibu sangat menyakitkan. Kadang darah dan goresan-goresan luka masih membekas pada tubuhnya, itu karena ayah. Sakit yang ia tahan dan rasakan sangat tidak mungkin dapat ditahan hanya demi orang tersayang. Ibu selalu menjaga adikku yang sakit dan mengantarkanku berangkat sekolah. Dia adalah ibuku yang sangat aku sayangi.
Hingga pada suatu hari, hal yang sangat tidak aku inginkan telah terjadi.
“ huaa.. hiks.. hiks.. bu… ayah! Sudah hentikan.. “ ibu tertidur dilantai dengan darah yang mengalir di kepalanya. “ayah! Hentikan .. ibu sakit.. ibu,,”. Ayah tetap tak mendengar, bahkan beliau semakin liar dan terus memukul ibuku. Aku tidak tahu kenapa ayah menjadi seperti monster dan seperti bukan ayahku, sekarang aku sangat takut. Aku melihat adikku dengan badan yang bergetar ketakutan, adikku hanya bisa menangis sama sepertiku. “kak.. ibu kenapa.. kenapa.. ayah memukul ibu.. apa ibu nakal?” tanya adikku dengan tangisan yang ditahan. “ ayah.. hentikan.. ibu sakit..”.
Tak adakah yang menolongku? Ibukku perlu bantuan. Apakah teriakanku tak membangunkan tidur patung mereka? saat ini aku merasa menyesal pada diriku sendiri, karena tak bisa berbuat apapun. Sedikitpun aku tak bisa membantu ibu.
Dengan tenaga yang sangat lemah, ibu merangkak mendatangiku dan adikku di pojok rungan kamar. “nak, tetaplah dirumah, jangan minta bantuan pada bedebah disini, jaga adikmu, ibu akan kembali. Jangan nangis ibu akan baik-baik saja. Carilah nenekmu di Tegal.” Aku hanya bisa mengangguk dengan tangisanku yang semakin keras.
Ayah datang lagi. Dengan kasar ia menarik rambut panjang ibukku dan membawa ibu keluar dari rumah ini. Aku melihat raut wajah ibu yang merintih kesakitan. Aku berteriak sangat keras, hingga suaraku ditelan oleh kesunyian. Suara gaduh dari pertengkaran ayah dan ibu sudah tidak terdengar. Aku menggendong adikku keluar dari rumah mencari keberadaan ibuku. Hanya jalan yang sepi menyapaku, dan malam yang gelap tanpa penerangan lampu.
Aku bingung harus kemana, dan berharap ibuku selalu dilindungi oleh Tuhan. Aku menyusuri jalan sepi, hanya berdua dengan adikku yang berada dipunggungku. Aku masih merasakan adikku menangis dalam diam. Sungguh kasihan, adikku yang masih kecil sudah melihat hal yang seperti ini.
“ibu.. kau dimana,, hiks.. aku takut sendiri dirumah.. ibu..” aku masih menyusuri jalan itu. Terlihat tak satupun rumah terbuka untuk kami menanyakan dimana ibu. Cukup lama aku berjalan dengan tangisan, punggungku terasa sangat pegal dan kaki semakin gemetar. Ternyata adikku terlelap karena lelah menangis semalaman. Akupun memutuskan untuk kembali pulang, walau rasa takut selalu menghantui perasaanku.
Ku baringkan adiku di kamarnya. Aku lapar, aku haus, aku bingung dimana mendapatkan makanan. Yang aku pikirkan sekarang adalah menunggu ibu pulang. Entah kemana ayah membawa ibu pergi aku hanya berdoa dia masih bisa bernafas.
Tok.. tok.. pintu rumah berbunyi menghentikan pikiranku yang masih kacau. Akupun membukanya dan melihat seorang kakek tua berdiri didepanku dengan jenggot putihnya yang panjang. Aku diam, saat ini aku belum dapat berfikir jernih. “ayo aku hantarkan kalian ke rumah nenekmu.” Aku masih terdiam, belum mengerti apa yang dimaksud kakek itu. “anda,, siapa? “ tanyaku heran, ”aku teman nenekmu, cepatlah bergegas sebelum ayahmu pulang dan mengamuk lagi.”
Dan akhirnya akupun pergi menggendong adikku yang masih tertidur pulas kerumah neneku, dengan motor vespa yang aku tumpangi. Aku masih bingung kenapa saat aku berteriak meminta tolong kakek ini tidak ada?. Menurutku itu tidak penting, intiknya sekarang aku pulang ke rumah nenek.
Tok..tok..tok.. “nenek! Buka pintu nek!” teriakku yang keras, tanpa menunggu lama, nenek dan kakek membuka kan pintu dengan raut wajah yang khawatir. “mereka bersamaku, kemarilah aku perlu berbicara denganmu” kakekku dan kakek berjenggot itu berbicara empat mata. Nenekku pun membaringkan adikku yng masih terlelap di kasurnya. “nek.. hiks,,” tanpa  banyak kata akupun menangis menceritakan semua yang aku dan adikku alami. Nenek hanya bisa memelukku erat sambil menangis, dengan mendengarkanku tanpa melewatkan sepatah kata pun.
Kakek datang menghampiriku dan mengelus kepalaku. “makan dulu lalu tidur, jangan pikirkan ibu dan ayahmu. Tidurlah dengan nenekmu.” Kata kakekku yang langsung pergi ke kamarnya.
Keesokan harinya aku bangun dengan mata sembab karena lelah menangis seharian. Rasa haus membuatku untuk pergi ke dapur. Saat itupun aku melihat ibu duduk lemas di kursu dapur dengan luka-luka yang cukup banyak di tubuhnya. Seketika aku menangis lagi, ibu pun menghampiriku dan memeluk sambil berkata “tenanglah nak, ibu berjanji tidak akan seperti ini lagi. Kita akan bebas, ibu akan berpisah dengan ayahmu”. Aku pun diam dengan seribu kata.
Tak ada yang tahu bagaimana takdir kita dalam hidup ini. Keluarga yang runtuh, tak seorangpun menginginkannya. Semua itu hanya menyakitkan, luka yang tak pernah bisa disembuhkan dengan apapun. Dan itulah aku, dengan seribu luka yang ku dapat dari hidup ini. Yang aku tau, aku adalah anak yang masih berumur 11 tahun yang sudah merasakan sebuah kepedihan yang melebihi dari semua sakit di dunia ini. Aku adalah anak yang berumur 11 tahun yang masih belum siap menerima semua alur hidup ini. Ya.. itu adalah aku.. Caya yang terlahir dari keluarga yang menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar